Kartasura, SURAKARTA DAILY ** Dekan Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta (FH UMS), Natangsa Surbakti, berpandangan, terorisme merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pidana politik. Hal ini timbul lantaran adanya ketidakadilan dalam bidang ekonomi dan politik hukum dalam masyarakat.
Dalam menangani persoalan terorisme, Natangsa mengajukan argumen bahwa pendekatan penal memiliki peran yang signifikan.
“Salah satu cara penanganannya adalah pendekatan penal, di mana hukum pidana digunakan sebagai sarana pencegahan dan penanggulan serta pemberantasan tindak pidana terorisme,” ujarnya dalam Seminar Rekonstruksi Kebijakan Penanganan Tindak Pidana Terorisme Menuju Hukum yang Berkeadilan, di Aula Kampus II UMS, Rabu (1/6/2016).
Selain Natangsa, hadir sebagai pembicara dalam seminar ini, perwakilan Tim Pembela Kemanusiaan yang dibentuk dalam rangka pendampingan Kasus Siyono, Herry Purwanto.
Purwanto mengungkapkan, dalam beberapa hal penegakan hukum acara pidana yang dilaksanakan oleh aparat sering kali bertentangan dengan pengaturan hukum yang ada, sehingga berpotensi melanggar hak asasi manusia.
“Dalam kasus Siyono, yang notabene belum memiliki status tersangka, yang baru terdakwa, perilaku Densus mengakibatkan hilangnya nyawa Siyono,” tuturnya.
Dihubungi secara terpisah, Peneliti Pusat Studi Demokrasi, Konstitusi, dan HAM (PUSDEK-HAM) UMS, Galang Taufani, mengungkapkan, urgensi revisi Undang-Undang Terorisme merupakan sebuah keniscayaan. Namun demikian, menurutnya, revisi harus menjamin dan mendorong perbaikan segala lini agar kepastian keadilan bisa terwujud.
“Revisi UU Terorisme tidak bisa ditawar-tawar, karena kebutuhan akan pemenuhan HAM saat ini,” katanya.
Galang menambahkan, kinerja Densus 88 dalam penangan Kasus Siyono menunjukkan bahwa ada yang keliru dalam penegakan hukum oleh aparat. Oleh karena itu, harus ada mekanisme aturan hukum yang mengatur pengawasan kinerja aparat agar sesuai koridor hak asasi manusia.
Deradikalisasi Ala Muhammadiyah
Belakangan, Muhammadiyah memang melakukan advokasi intens pada Kasus Siyono. Bantuan advokasi tersebut merupakan salah satu upaya deradikalisasi ala Muhammadiyah. Keluarga yang ditinggalkan bisa jadi akan terus menyimpan kebencian pada aparat bila tidak dilakukan pendekatan lebih khusus. Meski Muhammadiyah berisiko dianggap melindungi aksi terorisme.
Sekretaris Umum PP Muhammadiyah, Abdul Mu’ti, berpendapat, kasus kematian Siyono menjadi catatan penting bahwa Muhammadiyah harus sadar, ternyata masyarakat berharap Muhammadiyah untuk berkiprah di semua level.
“Belajar dari kasus kematian Siyono yang kemudian oleh PP Muhammadiyah dan Komnas HAM ditindaklanjuti maka Muhammadiyah harus sadar bahwa banyak masyarakat berharap kiprah yang dilakukan oleh Muhammadiyah di semua level. Mari kita terus bergerak untuk mewujudkan masyarakat madani. Harus ada sinergi dan soliditas jaringan baik internal maupun eksternal,” ucapnya.
Abdul Mu’ti menyampaikan hal tersebut saat Pelantikan Bersama Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM), PDA (Pimpinan Daerah Aisyiyah), dan Pimpinan Daerah Pemuda Muhammadiyah (PDPM) Nganjuk, Sabtu (16/4/2016), dirilis laman muhammadiyah.or.id.